Lima gagasan yang dapat mengubah Indonesia itu tentu Pancasila. Sebagaimana ditulis Jakob Oetama dalam kata pengantar buku Profesor Sastrapratedja, sudah sangat mendesak untuk mengaktualisasikan kembali Pancasila. Pancasila sudah lama berada dalam bahaya, bukan karena masih ada kekuatan politik yang mempersoalkannya, melainkan karena dukungan terhadap Pancasila cenderung menguapkan maknanya. Di masa Demokrasi Terpimpin Pancasila semakin dikesampingkan oleh semboyan-semboyan lain di mana yang paling tragis adalah NASAKOM. Di masa Orde Baru Pancasila dinyatakan sakti dan sesudahnya jutaan saudara dan saudari sebangsa dibunuh, dikucilkan, (...) dan dihancurkan eksistensinya; Pancasila menjadi payung salah satu kejahatan terbesar dalam sejarah umat manusia. Dan kemudian, melalui manipulasi, seperti dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila, Pancasila di-jawa-kan—dalam pidatonya di Pekanbaru Suharto mengatakan bahwa untuk memahami Pancasila orang perlu tahu falsafah honocaroko—dan dibonsai menjadi anjuran untuk bersikap baik-baik, bebas bertanggungjawab di bawah naungan pemerintah. Pancasila bonsai itu diindoktrinasikan melalui kursus-kursus BP7 kepada masyarakat. Maka waktu Suharto meninggalkan tahta kekuasaannya, Pancasila seakan sudah masuk kotak, orang sepertinya malu berbicara mengenai Pancasila. Panggung ideologis yang kosong segera mulai diisi oleh ideologi-ideologi picik-agamis-eksklusivis yang betul-betul mau membersihkan Indonesia dari sisa Pancasila. Maka pada 2006 AIPI (Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia) menyerukan kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono agar Pancasila kembali dijadikan acuan akhir eksplisit segala kebijakan kenegaraan. Karena itu, pemahaman kembali tentang arti Pancasila sangat mendesak. Itulah aktualitas buku Professor Sastrapratedja. Judulnya bukan sekedar kata keren. Sastrapratedja menunjukkan bahwa Pancasila bukan sebuah dokumen sejarah saja—seperti Declaration of Independence Amerika Serikat—atau sebuah pilar di atasnya bangsa Indonesia meneruskan perjalanannya. Sastrapratedja memperlihatkan bahwa Pancasila mempunyai gigi; artinya, Pancasila merupakan petunjuk tajam tentang kebijakan mana yang boleh dan tidak boleh diambil oleh negara yang mewujudkan bangsa Indonesia. Sastrapratedja menunjukkan dengan rinci bahwa kalau kita mengaku mendasarkan kehidupan bangsa pada lima sila Pancasila maka ada konsekuensinya. Ada kebijakan yang wajib diambil dan ada kebijakan yang wajib ditolak. Kalau negara kita mengikuti petunjuk Pancasila maka negara kita akan berubah. Buku ini terdiri dari dua puluh tiga makalah yang ditulis penulis dalam lima belas tahun terakhir. Bentuk itu menguntungkan karena pembaca tidak perlu membaca 393 halaman teks ini dari permulaan sampai akhir. Daftar isi yang cukup jelas, sebuah indeks nama dan sebuah indeks analitis rinci membantu pembaca untuk menemukan persis apa yang dicarinya. Sastrapratedja tentu tidak hanya membicarakan Pancasila. Di antara sekian masalah yang dibicarakan ada, misalnya, ”etika ilmu pengetahuan“—yang menurut Sastrapratedja memuat lima prinsip: harus menghormati martabat manusia sebagai pribadi, berpegang pada prinsip ”tidak merugikan,” terarah pada kesejahteraan bagi manusia dan masyarakat seluruhnya, pada pengurangan penderitaan, serta pada pemerataan hasil-hasilnya—, ”nasionalisme,“ ”jati diri manusia Indonesia,“ ”globalisasi“ dan tantangannya, pelbagai arti kata ”ideologi,“ ”etika politik,“ arti ”budaya politik,“ ”multikulturalisme,“ ”krisis modernitas“ sampai ”keamanan pangan“ sebagai tantangan etis........ Satu muatan Pancasila yang diangkat oleh Sastrapratedja adalah bahwa ”Pancasila menjadikan kehidupan masyarakat dan negara lebih manusiawi.” Mempancasilakan Indonesia berarti membuat bangsa Indonesia hidup bersama dengan lebih manusiawi. Hal itu eksplisit dituntut dalam sila kedua, tetapi memancar ke semua sila. Lebih manusiawi berarti penolakan terhadap kekerasan sebagai sarana untuk menyelesaikan masalah. Pancasila mendorong untuk mengusahakan “penghalusan perasaan” dan “transformasi keagresifan” manusia Indonesia. Ketuhanan Yang Maha Esa memanusiakan manusia dengan mengajak menghormati perbedaan, mengakui identitas semua warga dan komunitas masyarakat, dan dengan menjamin kebebasan beragama dan ”toleransi” terhadap kemajemukan. Menjunjung tinggi Pancasila membawa kewajiban untuk menjamin hak-hak asasi manusia. Demokrasi membawa ”komitmen pada kesamaan.” Usaha mewujudkan keadilan sosial berakar dalam solidaritas. Bahwa Pancasila merupakan suatu etika politik, menurut Sastrapratedja, tidak berarti bahwa Pancasila tidak menyangkut sikap etis manusia Indonesia masing-masing. Pancasila dapat menjadi etika politik apabila nilai-nilai Pancasila dihayati oleh masyarakat masing-masing. Sesuai dengan lima silanya karakter manusia Pancasilais ditandai oleh lima kemampuan: kemampuan untuk menghargai perbedaan, untuk membawa diri secara manusiawi dan santun, untuk mencintai tanah airnya, untuk bersikap demokratis, serta bersikap adil dan solider. Pendidikan Pancasila dengan demikian adalah pendidikan yang mendukung perkembangan sikap-sikap Pancasilais itu. Sesuatu yang masih dapat dimasukkan ke dalam edisi berikut buku ”Lima Gagasan…” adalah tanggapan terhadap pelbagai paham tentang Pancasila yang selama ini muncul di Indonesia. Ada sebuah koreksi kecil. Catatan Delanty, yang dikutip Sastrapratedja, yang mengatakan bahwa Ayatullah Khomeini dulu menyebarkan gagasannya lewat internet (hlm. 85) tentu keliru. Waktu Khomeini di Paris—dan sampai ia meninggal dunia—belum ada internet. (Franz Magnis-Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat, Driyarakra, Jakarta ). (shrink)

Berulang kali saya ditanya oleh sesama umat Katolik apakah buku bacaan Misa Katolik juga dipakai oleh gereja Protestan, sebab mereka mengalami bahwa dalam ibadat hari minggu gereja Kristen lain dipakai bacaan Alkitab yang sama. Memang belum banyak diketahui perkem-bangan luar biasa yang selama setengah abad terakhir terjadi berkaitan dengan lectionarium atau leksionari ibadat hari Minggu dalam seluruh umat Kristen. Karena itu publikasi thesis Pendeta Y.B. Mulyono (S2 di STT Proklamasi) tentang Revised Common Lectionary (RCL) sangat di-butuhkan, dan membantu juga diri (...) saya.... Thesis M. yang diterbitkan dengan rapi oleh Grafika KreasIndo (Sinode GKI) menjadi bacaan penting bagi setiap pengkhotbah, entah pendeta atau imam, dan hendaknya mendapat tempat dalam pendidikan hermeneutika dan homiletika para calon imam dan pendeta. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Dalam kedua buku ini Jens Zimmermann mengamati bahwa Eropa telah dan sedang mengalami krisis identitas serta krisis kebudayaan. Hal ini disebabkan karena masyarakat Eropa melupakan akar identitas dan kebudayaannya, yaitu humanisme Kristiani. Zimmermann menawarkan suatu jalan keluar dari krisis, yaitu kembali ke akar identitas dan budaya Eropa, yaitu filsafat Kristiani tradisional yang berpusat pada inkarnasi. Hal ini akan menjadi pemecahan bagi berbagai krisis dan per- masalahan yang dihadapi Eropa dewasa ini. “Humanisme inkarnasional” menyatakan bahwa Allah menjadi manusia sehingga manusia dapat (...) mencapai realisasi dari imago Dei atau gambaran Allah. Hal ini menjadi dasar utama kebudayaan Barat. Menurut Zimmerman, pengertian kita tentang persona, yang menyeimbangkan antara diri individual dan diri sosial, keluhuran martabat manusia dan hak-haknya, kebebasan dan tanggung jawabnya, dibangun atas dasar ajaran mengenai inkarnasi. Demikian pula dengan tradisi yang menekankan nilai bahasa, kesusasteraan dan seni untuk pemahaman diri manusia, hubungan iman dan akal budi, serta pentingnya pendidikan watak terbentuk oleh humanisme, khususnya humanisme pada masa Renaissance. Berbeda dari para pakar Renaissance lainnya, yang menafsirkan kebudayaan Renaissance sebagai pintu masuk ke dalam kebudayaan sekular dan masa Pencerahan, Zimmermann berpandangan bahwa Renaissance didahului oleh dan merupakan kelanjutan dari gagasan Bapa-Bapa Gereja Abad Tengah yang menempatkan inkarnasi sebagai pusat dari humanisme. Pendidikan di masa Renaissance merupakan pembentuk kebudayaan Kristiani. Istilah Jerman Bildung mengungkapkan kesatuan antara pendidikan dan kebudayaan. Inilah kunci dari kesinambungan budaya Kristiani. “Tujuan saya ialah menunjukkan kesinambungan tema dalam humanisme dan pendidikan watak di mana estetika dan bahasa memainkan peran penting. Saya telah menunjukkan bahwa humanisme Renaissance terutama merupakan humanisme Kristiani, yang sangat tergantung pada pemikir Patristik, Kekristenan Platonik” (I, hlm. 159). Zimmermann tidak membahas bahwa dalam masa Pencerahan telah terjadi suatu “keterputusan” dengan tradisi Kristiani sebelumnya................... Jens Zimmermann telah berhasil merunut perkembangan huma- nisme Kristiani dan menjelaskan bagaimana identitas masyarakat Eropa serta kebudayaannya berakar pada humanisme Kristiani. Maka apabila masyarakat Eropa akan mengatasi krisis identitasnya dan kebudayaannya mereka harus kembali kepada akar-akarnya tersebut, yaitu humanisme Kristiani. Humanisme itu didasarkan pada inkarnasi Allah. Pandangan Zimmermann bergerak dalam kawasan abu-abu, antara teologi dan filsafat. Satu aspek yang dilalaikan oleh Zimmerman ialah pembahasan mengenai terjadinya berbagai tragedi kemanusiaan di Eropa, seperti holocaustum dan imperialisme. Zimmermann hanya menyebut sepintas mengenai Hitler. Peristiwa-peristiwa tragedi itu merupa- kan disrupsi dalam sejarah Eropa, yang memutus kesinambungan akar- akar Kristiani. Pembangunan identitas membutuhkan kesinambungan historis serta reinterpretasi terus-menerus. Apakah relevan untuk me- ngatasi krisis jaman sekarang dengan menghidupkan kembali akar-akar humanisme Kristiani tanpa menafsirkannya kembali dalam konteks ma- syarakat Eropa yang semakin menjadi plural? Pandangan Zimmermann mirip dengan pandangan Paus Benediktus XVI, yang mengingatkan kem-bali akar Kristiani budaya Eropa. (M. Sastrapratedja, Program Pasca- sarjana, sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Jild-i 1-2. Nāmahʹī az nāmahʹhā-yi andīshahʹvarzī.

Development of religion and philosophy in Japan and their influence on Japanese civilization.

Abstrak: Sains sebagai keselamatan adalah ungkapan yang kerap digunakan secara peyoratif untuk menggambarkan dampak sains dan teknologi yang mencelakakan manusia. Artikel ini akan menunjukkan bahwa ide ‘sains sebagai keselamatan’ dapat dilacak ke Francis Bacon (1561-1626) dan ditafsirkan secara ketat menurut doktrin keselamatan Kristiani. Bacon merancang suatu program raksasa untuk meningkatkan proses pembelajaran dan pembaharuan pengetahuan. Namun, pada abad ke-16, setiap upaya untuk mencanangkan perluasan pengetahuan perlu terlebih dulu merehabilitasi status moral pengetahuan yang diasosiasikan dengan petaka di Firdaus, (...) yang membawa dosa masuk ke dunia. Secara cermat Bacon menangani keprihatinan moral dan teologis zamannya dengan cara menjalin unsur eskatologis ke dalam programnya. Dia lalu menyuguhkan restorasi pengetahuan sebagai kasus partikular dalam sejarah keselamatan yang akan memulihkan penguasaan dan kuasa manusia atas alam, dan pada waktunya membebaskan manusia dari kesengsaraan material. Kata Kunci: Sains, alam, kejatuhan, pemulihan, instauratio, apokalips, sejarah keselamatan, kemaslahatan. Abstract: Science as salvation' is a term used pejoratively to refer to the harmful impact of science and technology. This article will show that the idea of ‘science as salvation’ can be traced back to Francis Bacon (1561-1626) and was strictly construed according to the Christian doctrine of salvation. Bacon devised a comprehensive programme for the advancement of learning and the restoration of knowledge. But any sixteenth-century proposals for the expansion of knowledge first required a rehabilitation of the moral status of knowledge long tainted by an image of catastrophe leading to the fall from the Garden of Eden, in which knowledge brought sins into the world. Bacon meticulously worked on the moral and theological concern of knowledge by weaving an eschatological element into his programme. He then espoused the restoration of knowledge as a particular case in the history of salvation envisaged to eventually restore human Arcadian mastery and dominion over nature, which in turn was expected to relieve humans from material sufferings. Keywords: Knowledge, sin, fall, salvation, instauratio, apocalyps, sacred history. (shrink)

Sugirtharajah, seorang pakar biblika kelahiran Sri Lanka, yang mengajar di Universitas Birmingham, U.K., dan dikenal sebagai godfather penelitian pascakolonial dalam bidang Alkitab, menambahkan suatu karya inovatif lagi pada daftar tulisan-tulisannya yang sudah sangat mengesankan. Perhatiannya untuk suara penafsiran pinggiran sudah diketahui dari karyanya yang paling terkenal, Voices from the Margin (1991). Meskipun Alkitab berasal dari Asia, namun kebanyakan peneliti-an tentang Alkitab dan juga tentang pengaruhnya sepanjang sejarah, terfokus pada Eropa dan Amerika, dengan meminggirkan Asia. Itu mendorong S untuk mengadakan (...) penelitian tentang Alkitab di Asia, khusus-nya sejarah penerimaannya. Ia menyadari bahwa dampak Alkitab terhadap kebudayaan Asia minim bila dibandingkan dengan pengaruhnya atas kehidupan dan kebudayaan di Eropa. Itu menjadi sangat tampak dalam uraiannya tentang peran Alkitab dalam sastra Asia (bab 7) di mana kutipan, tokoh, dan cerita Alkitab jarang muncul, dan bila ada, lebih banyak dipakai sebagai kritik terhadap kolonialisme Barat atau institusi kekristenan.... S mengakhiri tulisannya dengan menegaskan bahwa prinsip sola scriptura, Alkitab saja, tak punya pasar di Asia yang cenderung membaca Alkitab bersama dengan yang lain, Bhagavad Gita, Dhammapada, Analecta (mengapa di sini Alquran tak disebut S?). Hermeneutika Asia yang diselidiki oleh S, menolak kecenderungan kolonial yang ada baik dalam Alkitab sendiri dan lebih lagi dalam interpretasi kekristenan Barat: Kebudayaan dan masyarakat Asia tidak bergantung pada nilai-nilai kristiani untuk pemerintahan dan pengembangan yang baik.... Di Asia Alkitab adalah salah satu di antara banyak teks yang berwenang (hlm. 259). Tugas kita, menurut S, adalah membebaskan Asia dari klaim monopolistis kitab suci tertentu. Tugas ini mendesak di saat para fundamentalis dari semua agama memakai kitab sucinya untuk membenarkan kekerasannya terhadap yang lain. S bahkan mempertanyakan monoteisme yang dapat menekan perbedaan dan mengabaikan kemungkinan pusat-pusat yang banyak (p. 260). Ia tidak menganjurkan untuk kembali kepada penyembahan banyak dewa-dewi tetapi men-dorong kajian terhadap spirit politeistis yang mendorong toleransi, kemurahan hati, dan koeksistensi. Pembaca tentu bertanya: di mana sesungguhnya posisi S di medan diskusi pluralisme dan inklusivisme, berkaitan dengan cara dialog antaraagama, dan ditantang untuk memikirkan posisinya sendiri. S mengakui bahwa banyak hal mengenai Alkitab di Asia masih perlu diselidiki. Lima belas abad pra-kolonial dibicarakan dalam dua halaman saja. Alkitab yang oleh gereja Nestorian tanpa kekuatan apa pun disebarkan ke India, Sumatra, dan China cuma dihormati tetapi tinggal tidak diterjemahkan selama belasan abad; kabarnya hanya diketahui melalui liturgi. Ada pula kesan bahwa Asia dalam karya S terutama Asia Selatan dan Asia Timur. Asia Tengah (bekas bagian-bagian USSR) memang dari awal tidak dimasukkan dalam penelitiannya, tetapi juga Asia Barat Daya dan Asia Tenggara yang multi-agama hampir tidak disentuh. S mungkin tidak mengetahui beberapa penelitian tentang penerimaan Alkitab di Indonesia yang sudah dipublikasikan oleh Lembaga Alkitab Indonesia. Namun demikian, apa yang disajikan sungguh menarik dan penting, serta membuka mata dan jalan bagi penelitian yang lebih luas. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Thomas Kuhn dengan konsep revolusi ilmiahnya memiliki karakteristik pemikiran dan model filsafat baru dalam hal sejarah lahirnya ilmu pengetahuan dan filsafat sains serta peranan sejarah ilmu pengetahuan dalam mengkonstruksi ataupun merekonstruksi munculnya ilmu pengetahuan baru. Bagi Thomas Kuhn sejarah ilmu pengetahuan merupakan starting point dalam mengkaji permasalahan fundamental dalam epistemologi keilmuan karena sains pada dasarnya selalu ditandai dengan kuatnya paradigma serta revolusi ilmiah setelahnya. Fase inilah yang diistilahkan Thomas Kuhn sebagai fase sejarah lahirnya ilmu (...) pengetahuan baru, dimulai dengan normal science, kemudian terjadi anomaly dan crisis, setelah itu barulah muncul revolusi ilmiah sebagai bentuk lahirnya ilmu pengetahuan baru. Pemikiran Thomas Kuhn tersebut dapat dikontekstualisasikan dengan pengembangan keilmuan Islam dengan tujuan membangun keterbukaan pemikiran keislaman terhadap anomali dan crisis serta munculnya revolusi dalam ilmu keislaman sehingga memotivasi munculnya paradigma baru di ranah keilmuan Islam. Berbagai pendekatan dalam studi Islam dapat digunakan seperti pendekatan normatif, historis, sosiologis, antropologis dan pendekatan lainnya dalam rangka membumikan Islam menjadi agama yang rahmatan lil alamin. Kata Kunci : Paradigma, Revolusi Ilmiah, Thomas Kuhn. (shrink)

Growth and impact of science and technology on Malaysian society.

On philosophy of history and historiography.

History and development of al-Ashʻarīyah Islamic doctrines in Malay Archipelago.

Tragedi perang Palestina–Israel tampak sebagai jalan penderitaan dan kekejian yang tanpa ujung dan tanpa solusi. Di tengah kesuraman seperti itu kisah kehidupan yang diceritakan oleh dokter Abuelaish mengharukan dan membawa harapan. Lahir dalam kamp pengungsi Jabalia di Jalur Gaza pada 1955, tujuh tahun setelah perang 1948 melahirkan negara Israel di tengah tanah Palestina, Abuelaish mengalami kemelaratan sangat ekstrem bersama ayahnya yang kehilangan tanahnya dan ibunya yang berwatak kuat tetapi juga keras serta delapan saudaranya. Sebelas orang ini hidup bertahun-tahun dalam ruang (...) pengungsian sesak dan pengap. Rumah lebih baik yang mereka temukan kemudian, dihancurkan buldoser Israel. Adiknya, Noor, ditangkap dan hilang. Di tengah keadaan gelap seperti itu, sambil terpaksa sebagai anak untuk bekerja keras ikut mencari nafkah, Abuelaish tetap seorang anak yang mau maju dan haus belajar. Semangat itu akhirnya membuka jalan baginya untuk mengambil kuliah kedokteran di Kairo, Mesir. Dengan pengalaman kerja bertahun-tahun di pelbagai rumah sakit di Gaza dan negara timur tengah lainnya dan belajar di London serta Harvard, juga lewat kerja sama dengan spesialis-spesialis Ginekologi Yahudi di Beersheba dan Tel-Aviv, ia berkembang menjadi seorang ginekolog dan spesialis fertilitas perempuan yang disegani. Namun bukan itu saja yang merupakan keistimewaan kisahnya. Dokter ini meyakini dan menemukan jalan bagaimana di tengah permusuhan antara bangsa Israel dan Palestina karya medis dapat membangun jembatan hidup bersama; juga bagaimana para perempuan yang ia layani sebagai ginekolog, merupakan kekuatan damai tatkala laki-laki suka berperang. Karena itu, ia berjuang bagi perempuan dan pemberdayaan mereka lewat pendidikan, termasuk putri-putrinya sendiri. Ia mau repot membawa pasien-pasiennya yang tak bisa ia tolong di rumah sakit serba terbatas di Jalur Gaza, ke pusat-pusat medis di Israel yang dapat dan mau membantu, kendati segala kesusahan untuk mendapat visa dan segala macam penghinaan yang harus ditelan seorang Palestina di setiap penyeberangan perbatasan.................................... Terima kasih kepada Penerbit Qanita (PT Mizan Pustaka) yang begitu cepat menyediakan kesaksian kemanusiaan, iman, serta moral tinggi ini (aslinya dari tahun 2010) dalam terjemahan Indonesia yang enak dibaca. Semoga menjadi best-reader. Tak dapat tidak, kisah istimewa ini telah dan akan terus menggetarkan hati banyak orang, bahkan dari mereka yang mengambil posisi bertolak belakang dengan Izzeldin Abuelaish dalam konflik Israel-Palestina dan cara untuk menyelesaikannya. (Martin Harun, Program Studi Ilmu Teologi, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Bertepatan waktu dengan Seminar Sola Scriptura bulan Maret 2015, dengan topik Miracles: The Credibility Of The New Testament Accounts, yang dibawakan oleh Prof. Craig Keener, oleh Perkantas diterbitkan terjemahan bukunya yang berjudul Gift and Giver: The Holy Spirit for Today (2001). Apakah eksemplar yang dihadiahkan kepada saya, akan bernasib sama seperti yang selalu saya kira terjadi dengan buku yang tidak dibayar, yakni tidak dibaca? Penampilan Keener yang sederhana, berbobot dan spiritual dalam seminar tersebut, menantang saya untuk membuka dan (...) membaca buku hadiah ini. Keener mau membantu kita untuk lebih memahami bagaimana Roh Kudus menolong kita menjalani kehidupan dan perutusan kristiani. Buku dimulai dari belajar mengenali suara Roh Kudus dan oleh Roh itu belajar mendengar Allah (bab 1-2). Selalu dengan bantuan Alkitab, Keener menguraikan bagaimana Roh Kudus memberdayakan kita untuk penginjilan (bab 3) dan mengerjakan peruba-han dalam pola hidup kita (bab 4). Sesudah itu Keener membicarakan aspek-aspek yang lebih kontroversial dalam karismatik, pertama-tama karunia-karunia Roh (bab 56), juga baptisan dalam Roh Kudus dan kapannya (bab 7-8), dan lebih khusus bahasa lidah (bab 9). Dalam beberapa bab ini Keener, sendiri seorang “karismatik” dalam arti mempraktikkan karunia-karunia Roh (hlm. 14), mempertahankannya terhadap orang-orang yang mengira tak perlu lagi mempraktikkannya setelah zaman rasul-rasul. Keener yakin bahwa karunia-karunia biblis dimaksud untuk terus dijalankan dalam masa sekarang di mana diberi. Ia juga membahas perbedaanperbedaan pemahaman antara pelbagai kelompok karismatik dan pentekostal tentang karunia-karunia tertentu, juga tentang momen pembaptisan dalam Roh, dan menjelaskan apa yang menurutnya dimaksudkan dalam Alkitab. Keener memang seorang pakar Perjanjian Baru yang disegani. Dalam bab terakhir, Mengapa menguji Roh (bab 10), Keener menjawab beberapa pra-sangka yang tidak benar terhadap gerakan karismatik, tetapi di lain pihak tidak menyembunyikan bahwa dalam jemaat karismatik dan pentekostal juga muncul ekses-ekses yang menurutnya menyimpang dari paham Alkitab dan bisa membahayakan iman pelaku dan kehidupan jemaat. Maka diberinya klarifikasi................................. Tekanan Keener pada Roh yang memberdayakan untuk penginjilan dalam arti berprakarsa memberitakan dan mengajarkan injil kepada semua orang, mungkin tak menimbulkan masalah di Amerika Serikat yang dominan Kristen, tetapi menjadi pertanyaan pelik bagi Gerejagereja di Asia. Orang kristen Asia yang didorong oleh Roh untuk hadir di tengah orang-orang beragama lain hanya dengan kesaksian hidup dan bekerja sama, dan —baru bila muncul kesempatan—berdialog dalam arti sharing iman dan bukan perdebatan, tidak menemukan pengarahan untuk itu dalam buku ini. Isu Yesus sebagai satu-satunya jalan keselamatan, prinsip yang Keener percaya sebagai inti injil (267), isu yang ia takut dapat menjadi hal utama yang menimbulkan perpecahan di antara orang kristiani sekarang ini, memang rela ia agendakan di tempat kedua demi misi bersama yang mempersatukan kita sebagai Kristen. Apakah itu berarti bahwa ia juga mau berbuat demikian demi misi bersama seluruh umat manusia, semua agama? Eksklusivisme keselamatan dalam agama-agama tetap mengakibatkan perpecahan yang kini merupakan ancaman yang lebih besar lagi bagi dunia daripada perpecahan-perpecahan di dalam agama Kristen. Apakah sikap dialogal antar kristiani yang sangat mewarnai sikap Keener dalam buku ini, juga diperluas kepada semua orang beragama? Beberapa catatan ini tidak mengurangi penghargaan tinggi saya akan penjelasan Keener tentang pemberian-pemberian Roh Kudus dari dalam pemahamannya yang mendalam akan Alkitab, dan sharingnya. yang tulus, berbobot dan personal tentang pengalamannya sendiri akan karunia Roh Kudus itu dalam hidup dan penginjilannya sendiri. Suatu buku penting untuk setiap orang karismatik untuk memahami yang paling pokok, dan bagi orang non karismatik untuk lebih mengenal yang terbaik di dalam gerakan karismatik. (Martin Harun, Guru Besar Ilmu Teologi Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

In 2015, Wan Kamal Mujani, a Professor of Islamic History and Siti Nurulizah Musa, a postgraduate student in Arabic and Islamic Studies, both from Universiti Kebangsaan Malaysia published an edited book entitled ‘Arab Spring’: Factor and Impact. Written in Malay and published by the Faculty of Islamic Studies of Universiti Kebangsaan Malaysia. This volume comprises of fourteen chapters on the ‘Arab Spring’. They approach this phenomenon from different perspectives in order to guide the readers understand selected issues arising (...) arose from those momentous events that shook the Arab world between 2011 and 2012. (shrink)

Acoustic emission technique is a common approach to identify the damage of the refractories; however, there is a complex problem since there are as many as fifteen involved parameters, which calls for effective data processing and classification algorithms to reduce the level of complexity. In this paper, experiments involving three-point bending tests of refractories were conducted and AE signals were collected. A new data processing method of merging the similar parameters in the description of the damage and reducing the dimension (...) was developed. By means of the principle component analysis for dimension reduction, the fifteen related parameters can be reduced to two parameters. The parameters were the linear combinations of the fifteen original parameters and taken as the indexes for damage classification. Based on the proposed approach, the Gaussian mixture model was integrated with the Bayesian information criterion to group the AE signals into two damage categories, which accounted for 99% of all damage. Electronic microscope scanning of the refractories verified the two types of damage. (shrink)

Title in English: Psychology of Nationality as A New Studies Umbrella in Indonesia. Abstract: The role of psychology in dealing with issues of and improving the welfare of the nation has often been raised into topics of psychology seminars and conferences, both in subdisciplines of social psychology, clinical-macro psychology, and other subdisciplines. Psychology, as a science that deals with human dimensions, tries to contribute from formulating the definition of "nation" to doing research and social intervention on the nation's problems. This (...) phenomenon is very encouraging because it shows that we are continually questioning ourselves as a nation, a precondition for healthy development, as well as seeing and trying to reach the possibilities of how our nation will "become". Every psychology (assumed that psychology is not singular) that indicates and prescribes adherence of feelings and commitments of citizens with the imagined community of the nation deserve to be called as Psychology of Nationality. (shrink)

Résumé — Alors que, chez Thomas d’Aquin et Bonaventure, l’infinité divine est encore entendue négativement, c’est précisément chez Henri de Gand que se laisse repérer l’infléchissement vers la positivité annonçant la détermination proprement moderne du concept d’infini : discursivement associée à la bonté, à la totalité et à la perfection, il suppose une conception quantificatrice de l’étant et l’identité de l’être et de la perfection : il énonce alors le degré ontologique suprême au sein d’une hiérarchie des degrés d’être. Dès (...) lors, cette perfection ontologique est thématisée suivant le concept de protensio, concept qui, en énonçant la positivité pure et le mouvement d’autoposition de l’être, rend pensable le primat de l’infini sur le fini.— Mentre in Tommaso d’Aquino e Bonaventura, l’infinità divina è ancora intesa negativamente, è proprio in Enrico di Gand che si può percepire l’inflettere verso la positività che annuncia la determinazione propriamente moderna del concetto di infinito : discorsivamente associato alla bontà, alla totalità e alla perfezione, presuppone una concezione quantificatrice dell’essere e l’identità dell’essere e della perfezione : enuncia allora il grado ontologico supremo in una gerarchia dei gradi dell’essere. Quindi, questa perfezione ontologica viene tematizzata secondo il concetto di protensio, concetto che, nell’enunciare la positività pura e il movimento di autoposizione dell’essere, rende pensabile il primato dell’infinito sul finito. (shrink)

Rousseau et l'exegese biblique du XVIIIe siecle -- Des pratiques bibliques du XVIIIe siecle a la lecture-consolation de Rousseau -- Intertextualite biblique dans l'ouvre de Rousseau -- Intertexte biblique et representation de soi -- Le Levite d'Ephraim : reecriture biblique -- Schemes de la pensee du religieux -- Ouvre de doctrine : la lettre a Christophe de Beaumont -- Etre Chretien de Jacques : les lettres ecrites de La Montagne.

Contribution of Malay Muslims in science and modern world; proceedings of a seminar.

Historical and philosophical study of human nature in adopting cultural traditions; from Islamic view point.

Philosophy and conception of Divine authority in legal terms.

Critical study of Asfār al-arbaʻah fī al-ḥikmah, written by Muḥammad ibn Ibrāhīm Ṣadr al-Dīn Shīrāzī on Islamic philosophy.

Buku yang ditulis oleh Dr. A. Setyo-Wibowo (SW) dan Haryanto Cahyadi, M. Hum. (HC), dua-duanya dosen filsafat, yang satu di Jakarta, yang satu di Jayapura, ini betul-betul memperkaya pustaka tentang filsafat dalam bahasa Indonesia. Platon tetap salah satu filosof terbesar, kalau bukan filosof terbesar segala zaman. Dalam buku ini para penulis mengantar pembaca ke jantung filsafat Platon. Mereka melakukannya dengan membawa pembaca ke dalam teks-teks kunci Platon. Yang mereka angkat adalah pemikiran Platon tentang pendidikan. Pendidikan bukan salah satu bidang pemikiran (...) Platon, melainkan intinya. Seluruh filsafat Platon, seperti setiap filsafat sejati, akhirnya hanya punya satu tujuan: ia mau mencerahkan. Ya mencerahkan kita. Menunjukkan ke mana kita harus mengarahkan dan mengembangkan kita agar kita menjadi manusia yang mutu. Buku ini membuat kita betul-betul mengerti Platon, tidak hanya seperti dalam buku-buku “ringkasan sejarah filsafat”, melainkan secara mendalam. Namun buku SW dan HC ini mempunyai nilai lebih. Mereka tidak hanya membawa kita ke Platon, melainkan mengangkat aktualitas pemikirannya. Platon mau mendidik pemimpin negara. Ia tidak berfilsafat dalam udara kosong, melainkan pada zaman di mana demokrasi Athena sudah kacau balau karena disandera oleh elit-elit korup. Dalam situasi ini Platon mengembangkan konsepsinya tentang suatu pendidikan yang bisa melahirkan pemimpin negara yang baik. SW dan HC menunjukkan bahwa pemikiran Platon 2500 tahun lalu sekarang di Indonesia pun masih pantas diperhatikan. Buku ini bukan bacaan gampang. Uraiannya tidak secara esai omongan ringan, melainkan betul-betul ngilmu, memakai metode-metode analisa filosofis, mengutip dari teks-teks Platon sendiri, dengan mengacu pada pustaka para ahli Platon yang state of the art. Bahasa pun tidak menggampangkan. Untuk tetap rapat dengan teks, mereka suka memakai kata-kata kunci dalam bahasa Yunani. Ambil misalnya judul ini: "Paideia Kaum Sofis: Penciutan Aisthesis-Arete dan Dominasi 'Empeiria'". Pembaca mana langsung akan tahu apa kiranya akan dibahas. Pembaca barangkali sering harus mencari dalam daftar istilah (yang, sayang, tidak lengkap) apa arti suatu kata, misalnya logistikon atau Iliados, kemudian lupa lagi, cari lagi dst. Tetapi bagi pembaca yang bertahan ganjarannya besar. Ia akan masuk ke dalam pemikiran Platon yang asli, rinci, sangat menarik...................... Masih satu catatan tentang cita-cita manusia yang kaloskagathos, elok nan baik. Membaca uraian bagus para penulis saya terdorong untuk bertanya apakah bukan sudah waktunya cita-cita Yunani kuno yang dalam etika kontemporer sama sekali hilang itu perlu diangkat kembali. Paham manusia mutu sebagai manusia elok nan baik berhasil melepaskan etika dari moralisme sempit (searah dengan MacIntyre – After Virtue – yang mengangkat kembali paham "keutamaan" Yunani yang kuat dan utuh terhadap paham mandul-moralistik istilah "keutamaan" dalam budaya Barat). Begitu pula etika Jawa memahami kebaikan manusia yang mantap dan utuh dalam keterkaitan antara kebaikan etis dan kebaikan estetik. - Catatan kecil: Dalam indeks seharusnya tidak dimuat nama yang terdapat dalam daftar pustaka. Buku Setyo Wibowo dan Haryanto Cahyadi ini bukan hanya pandu kompeten ke jantung filsafat Platon, melainkan memberikan rangsangan-rangsangan baru untuk pemikiran filosofis. (Franz Magnis-Suseno, Program Pascasarjana, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

Buku kedua suntingan Raymundus Sudhiarsa dan Paulinus Yan Olla (2015) memuat duapuluh tulisan — sumbangan dosen-dosen STFT Widya Sasana pada hari Studi 2015 — yang berfokus pada dua dokumen tulisan kunci Paus Fransiskus: “Evangelii Gaudium” (2013) dan “Misericodiae Vultus” (2015). Hari Studi itu mengangkat pertanyaan bagaimana menjawab tantangan agar Gereja Indonesia menjadi “gem- bira dan berbelaskasih.” Tulisan-tulisan ini dibagi dalam empat kelom- pok: Tinjauan historis, tinjauan biblis, tinjauan filosofis dan sosio-kultural, dan tinjauan teologis-pastoral, disusul penutup. Saya membatasi diri pada beberapa (...) catatan saja. Dari empat tulisan “tinjauan historis” yang langsung sangat menarik adalah tulisan pertama (oleh Edison R. L. Tinambunan) tentang kenyataan bahwa kristianitas telah sampai ke Sumatra lebih dari seribu tahun lalu, dan dibawa terutama oleh kaum awam. Cukup menarik apa yang kemudian ditulis oleh Armada Riyanto tentang dua penulis sejarah Gereja Indonesia, Martinus Muskens dan Karel Steenbrink, disusul tulisan tentang Gereja di zaman pendudukan Jepang. Apa yang ditulis oleh Kristoforus Bala tentang peran devosi pada Ibu Maria dalam evangelisasi di Nusa Tenggara bagi banyak pembaca Indonesia barangkali masih baru. Dari empat tulisan “tinjauan biblis-teologis” dua mengenai Perjanjian Lama......................................................................... Dari tiga tulisan penutup yang pertama, dari Merry Teresa Sri Rejeki, menjelaskan dua dokumen yang menjadi fokus tulisan-tulisan jilid ini: “Evangelii Gaudium” dan “Misericordiae Vultus.” Seberikutnya Piet Go menjelaskan secara skematis mengapa iman Gerejani perlu “bergembira” dan “berbelas-kasih.” Buku ditutup dengan “Sukacitaku,” puisi St. Teresia dari Kanak-kanak Yesus. Sebagai kesimpulan: buku ini — meskipun ada beberapa kelemahan, terutama uraian-uraian teoretis yang agak berlebihan dan absennya perhatian pada sekian kontroversi baik dalam masyarakat maupun dalam Gereja berkaitan dengan hal- hal yang dibahas — amat kaya, mencerahkan dan bisa memperdalam pengertian tentang iman Gereja serta betapa penting dan perlu Gereja Indonesia mengikuti ajakan Paus Fransiskus untuk memancarkan kegembiraan dan belaskasihan Ilahi ke dalam masyarakat (Franz Magnis- Suseno, Guru Besar Ilmu Filsafat Emeritus, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta). (shrink)

For a cou ple of decades, higher-order the o ries of con scious ness have enjoyed great pop u lar ity, but they have recently been met with grow ing dis sat is - fac tion. Many have started to look else where for via ble alter na tives, and within the last few years, quite a few have redis cov ered Brentano. In this paper such a Brentanian one-level account of con scious ness will be out lined and dis (...) - cussed. It will be argued that it can con trib ute impor tant insights to our under - stand ing of the rela tion between con scious ness and self-aware ness, but it will also be argued that the account remains beset with some prob lems, and that it will ulti mately make more sense to take a closer look at Sartre, Husserl, and Heidegger, if one is on the look out for prom is ing alter na tives to the higher-order the o ries, than to return all the way to Brentano. (shrink)

This was originally written and presented at the National Endowment for the Humanities Summer Seminar for College Teachers on Folk Psychology vs. Mental Simulation: How Minds Understand Minds, run by Robert Gordon at the University of Missouri - St. Louis, June-July 1999. It has been only lightly revised since, and should be considered a rough draft. Needless to say, the ideas herein owe a lot to what I learned at the seminar from Robert Gordon and the other participants, (...) particularly Jim Garson. However, any errors are my responsibility alone. (shrink)

There is a conventional discourse in favor of interdisciplinary research. At the same time there is much indifference or even disregard for such research and there are important institutional obstacles to its development. This first contribution to a virtual seminar aims at feeding reflexion on the conditions in which this research is either truly beneficial, even necessary, or is of little value. Favorable conditions for interdisciplinary research have a history, linked to that of scientific disciplines and their institutions. Is (...) this history in the process of taking a new turn with the development of new forms of scientific communication through the Internet? I draw on my experience in the social and the cognitive sciences to reflect on the strength and weaknesses of interdisciplinary research and on its future. (shrink)

Matteo Ricci is one of the most important Christian missionaries in China whose groundbreaking method of accommodation in the context of the Chinese culture was paradigmatic and influenced the history of relationship between China and the West. Ricci’s work had a profound impact on Chinese culture. He introduced new ideas in astronomy, mathematics, cartography, and other fields. He also helped to spread Christianity in China through the means of science and dialogue built on authentic friendship. In this article we offer (...) a discussion about his missionary work that left mark on the history of evangelization of China by considering his scientific contribution, his missionary spirituality and accommodation method resulting in his personal experience of intercultural encounter leading to his profound self-transformation. As the Catholic church already officially recognized his “heroic virtues” putting Matteo Ricci on the path to sainthood, it is important to reflect about contribution of this great Jesuit to the dialogue between China and the West. Abstrak Matteo Ricci adalah salah seorang misionaris Kristen terpenting di Tiongkok, karena membuat terobosan berupa metode akomodasi yang akan menjadi paradigma kultural yang memengaruhi sejarah relasi antara Tiongkok dan Barat. Pengaruh Ricci terhadap kebudayaan Tiongkok sangat dalam karena ia memperkenalkan astronomi, matematika, kartografi, dan bidang ilmu lainnya. Ia membantu penyebaran Kristianitas di Tiongkok lewat jalan ilmu pengetahuan serta lewat dialog berdasarkan persahabatan tulus. Artikel ini mendiskusikan karya Ricci yang menandai sejarah evangelisasi di Tiongkok dengan secara khusus menyoroti kontribusinya dalam bidang sains dan dengan menelisik metode akomodasi beserta spiritualitas penginjilannya yang berakar pada perjumpaan interkultural yang membuahkan transformasi mendalam dalam kehidupan pribadinya. Mengingat Gereja Katolik telah secara resmi mengakui keutamaan-keutamaan heroik Matteo Ricci serta telah memulai proses kanonisasinya, penting kiranya merefleksikan kontribusi misionaris Yesuit ini dalam hal dialog antara Tiongkok dan Barat. Kata-kata kunci: Matteo Ricci, Tiongkok, spiritualitas, akomodasi, misi, dialog. (shrink)

It is precisely through movement that the subject inscribes itself into the world and becomes visible to others. The subject is a movement directed to the outside, that is to say, the subject is desire. Desire is the “tension” toward the “extrême dehors” that we call the world. In all of his works Maurice Merleau-Ponty reaffirms, without thematizing it, a conception of life as movement, and of body as action and desire: the human being is “a certain lack of....” In (...) other words, it is the distance between myself and the absent that drives me to move, to annul the distance through motion. Thus life is nothing but the unfinished act of moving into space and thereby creating space—the space in which we, as desire and movement, encounter both others and the world. As the act of moving is the way one appears to another, every relationship is based on appearing. In short, life is the movement that leads us towards the world and coincides with our desire to make it appear.C’est précisément par le mouvement que le sujet s’inscrit dans le monde et devient visible pour les autrui. Le sujet est un mouvement dirigé au dehors, c’est-à-dire, le sujet est désir. Le désir est la « tension » vers le « dehors extrême » que nous appelons le monde. Partout, Merleau-Ponty affirme, sans la thématiser explicitement, une conception de la vie comme mouvement, et une conception du corps comme action et désir : l’homme est « un certain manque de ». En d’autres termes, c’est la distance entre moi-même et l’absente qui me force à bouger, à annuler la distance à partir du mouvement. Donc la vie n’est rien que l’acte inachevé de bouger dans l’espace et par là la création de l’espace – l’espace dans lequel nous, comme désir et mouvement, rencontrons les autrui et le monde. Comme l’action est le moyen par lequel l’un apparait à l’autre, tous les rapports sont basés sur l’apparence. En bref, la vie est le mouvement qui nous amène vers le monde et qui coïncide avec notre désir de le faire apparaître.È attraverso il movimento che il soggetto si iscrive nel mondo e diviene visibile per l’altro. Il soggetto è un movimento in direzione del “fuori”, il che significa che il soggetto è desiderio. Il desiderio è “tensione” verso quell’“estremo fuori” che chiamiamo mondo. Ovunque Merleau-Ponty riafferma, senza tematizzarlo esplicitamente, una concezione della vita come movimento, e una concezione del corpo come azione e desiderio: l’uomo è “una certa mancanza di”. In altri termini, è la distanza tra me e l’assente che mi forza a muovermi, ad annullare la distanza tramite il movimento. Dunque la vita non è che l’atto incompiuto di questo muoversi nello spazio e di questo creare lo spazio – lo spazio nel quale noi come desiderio e movimento incontriamo gli altri e il mondo. E poiché l’azione è il mezzo attraverso cui l’uno appare all’altro, tutti i rapporti sono basati sull’apparenza, e la vita è il movimento che ci conduce verso il mondo e che coincide col nostro desiderio di farlo apparire. (shrink)

Le Gruppo di Nun s’intéresse aux recoupements entre Kabbale et cybernétique, pour en dégager une théorisation décoiffante et une histoire alternative des démonologies qui se sont succédé jusqu’à aujourd’hui. Leur relecture oppose une magie de la Main Droite, qui nous emprisonnerait dans une hallucination de nature bien ordonnée à laquelle nous devrions nous soumettre, et une magie de la Main Gauche, dont la force émancipatrice tiendrait en sa capacité à nous faire accepter – et aimer – le désordre de notre (...) monde chaotique. (shrink)

Le contrôle de constitutionnalité, dont la magistrature parlementaire de l’Ancien Régime revendiquait le plein droit, n’était pas fondé uniquement sur les lois fondamentales du royaume, mais sur l’ensemble des principes (« les maximes ») tirés de la « Tradition ». Cette dernière était composée en premier lieu par le droit divin et le droit naturel, c’est-à-dire par des systèmes juridiques qui nécessitaient, tous les deux, une interprétation juridictionnelle ‘sapientiale’. Cette activité interprétative était ‘révélatrice’ d’un corpus de valeurs métaphysiques à laquelle (...) seule la Scientia Juris des magistrats pouvait puiser. Mais dans la sphère de la Tradition juridique rentraient aussi le « dépôt légal », c’est-à-dire l’ensemble de toutes les lois, même des lois ainsi dites « ordinaires », c’est-à-dire celles qui avaient été produites par la simple manifestation de volonté souveraine d’un roi prédécesseur « car tel avait été son plaisir » (moderne formulation du brocarde de droit romain : « quidquid principi placuit legis habet vigorem »). Ainsi la juridiction parlementaire donnait lieu à un jugement de constitutionnalité qui était normalement exercé de manière très flexible par le corps de la magistrature, dépendant des circonstances et des intérêts politiques momentanés des situations juridiques qu’elle voulait protéger. La hiérarchie des normes était ainsi un formidable instrument de protection de cet ordre juridique dont les legum doctores se sentaient les tuteurs. Elle était, donc, directement liée au gouvernement politique des juges. (shrink)

Dans les pages des Cahiers noirs, qui vont de 1942 à 1945 Heidegger vient à parler des Juifs dans trois passages contigus à sa réflexion sur la technique. Le second passage, central, contient l'interprétation onto-historique que Heidegger donne de la Shoah. Dans ce passage, le grand topos de la philosophie du XXe siècle, le silence de Heidegger sur Auschwitz, disparaît. Le nom de l'extermination est pour Heidegger Selbstvernichtung. Si la « question juive » est une question métaphysique, la résolution sera (...) elle aussi métaphysique. La Endlösung, la « solution finale », dès lors qu'elle est interprétée dans le cadre de l'histoire de l’être, se révèle comme « auto-anéantissement ». Heidegger interprète l'extermination comme un « auto-anéantissement », conformément à son antisémitisme métaphysique : ce sont les Juifs qui se sont auto-anéantis. Agents de la modernité, complices de la métaphysique, les Juifs suivent le destin de la technique, que résume le mot Verzehr : les usuriers sont soumis à l’usure, les consommateurs se consument, les destructeurs finissent par se détruire eux-mêmes. (shrink)

Dans cette contribution nous analysons l’interprétation de Merleau-Ponty du schéma corporel et du mouvement, en relation avec les découvertes récentes en neurosciences cognitives, afin de proposer une esquisse d’une phénoménologie du politique. Plus précisément, nous nous focaliserons, d’une part, sur le concept dynamique de schéma corporel chez Merleau-Ponty et sur sa compréhension de l’intentionnalité motrice et corporelle, ainsi que sur l’image du miroir qu’il utilise souvent, notamment dans la « Note sur Machiavel », et, d’autre part, sur la théorie des (...) neurones miroirs proposée par le neurophysiologiste Giacomo Rizzolatti sur la compréhension de la compréhension. C’est précisément la figure du miroir, et les théories pertinentes sur le réflexe et les réflexions, qui constituent la clé pour relier les études phénoménologiques du corps, du mouvement et de l’empathie avec les approches neuroscientifiques sur ces mêmes questions. Le concept de miroir se révèle comme essentiel afin de comprendre le fonctionnement des neurones miroirs ainsi que la base de l’empathie, qui doit être comprise comme compréhension et imitation incarnées. L’autre se révèle comme notre miroir. Nous fournissons ainsi, suivant à la fois les théories phénoménologiques et neuroscientifiques, la preuve qu’il existe effectivement une connexion entre phénoménologie et pensée politique, ainsi qu’une communication inter-corporelle entre moi et autrui, qui peut servir de base pour développer une théorie de l’intersubjectivité en tant qu’intentionnalité corporelle partagée, voire une introduction à une phénoménologie politique. (shrink)

RésuméLes oeuvres existantes d’Avicenne préservent-elles une trace de sa première production philosophique, aujourd’hui perdue? Cet article examine un texte jusqu’ici négligé, à savoir le chapitre « Sur les propositions hypothétiques » du « Traité concis sur les principes de la logique d’Avicenne » (Risāla mūǧaza fī uṣūl al-manṭiq, ci-après RM). Les nouveaux éléments offerts par le chapitre du RM en question conduiront à une lecture différente d’un autre passage bien connu de la réélaboration avicennienne des Analytiques premiers (Qiyās) d’Aristote dans (...) le « Livre de la guérison » (Kitāb al-šifāʾ). Les indices recueillis à partir de l’analyse de ces deux ouvrages nous amèneront finalement à réfléchir à la possibilité qu’Avicenne ait en fait composé un ouvrage (désormais perdu) sur les propositions et les syllogismes hypothétiques. Le RM d’Avicenne n’étant à ce jour pas édité, une édition, ainsi qu’une traduction anglaise du chapitre concerné, sont également fournies en annexe de cet article. (shrink)

Table of contentsI1 Proceedings of the 4th World Conference on Research IntegrityConcurrent Sessions:1. Countries' systems and policies to foster research integrityCS01.1 Second time around: Implementing and embedding a review of responsible conduct of research policy and practice in an Australian research-intensive universitySusan Patricia O'BrienCS01.2 Measures to promote research integrity in a university: the case of an Asian universityDanny Chan, Frederick Leung2. Examples of research integrity education programmes in different countriesCS02.1 Development of a state-run “cyber education program of research ethics” in (...) KoreaEun Jung Ko, Jin Sun Kwak, TaeHwan Gwon, Ji Min Lee, Min-Ho LeeCS02.3 Responsible conduct of research teachers’ training courses in Germany: keeping on drilling through hard boards for more RCR teachersHelga Nolte, Michael Gommel, Gerlinde Sponholz3. The research environment and policies to encourage research integrityCS03.1 Challenges and best practices in research integrity: bridging the gap between policy and practiceYordanka Krastev, Yamini Sandiran, Julia Connell, Nicky SolomonCS03.2 The Slovenian initiative for better research: from national activities to global reflectionsUrsa Opara Krasovec, Renata SribarCS03.3 Organizational climate assessments to support research integrity: background of the Survey of Organizational Research Climate and the experience with its use at Michigan State UniversityBrian C. Martinson, Carol R. Thrush, C.K. Gunsalus4. Expressions of concern and retractionsCS04.1 Proposed guidelines for retraction notices and their disseminationIvan Oransky, Adam MarcusCS04.2 Watching retractions: analysis of process and practice, with data from the Wiley retraction archivesChris Graf, Verity Warne, Edward Wates, Sue JoshuaCS04.3 An exploratory content analysis of Expressions of ConcernMiguel RoigCS04.4 An ethics researcher in the retraction processMichael Mumford5. Funders' role in fostering research integrityCS05.1 The Fonds de Recherche du Québec’s institutional rules on the responsible conduct of research: introspection in the funding agency activitiesMylène Deschênes, Catherine Olivier, Raphaëlle Dupras-LeducCS05.2 U.S. Public Health Service funds in an international setting: research integrity and complianceZoë Hammatt, Raju Tamot, Robin Parker, Cynthia Ricard, Loc Nguyen-Khoa, Sandra TitusCS05.3 Analyzing decision making of funders of public research as a case of information asymmetryKarsten Klint JensenCS05.4 Research integrity management: Empirical investigation of academia versus industrySimon Godecharle, Ben Nemery, Kris Dierickx5A: Education: For whom, how, and what?CS05A.1 Research integrity or responsible conduct of research? What do we aim for?Mickey Gjerris, Maud Marion Laird Eriksen, Jeppe Berggren HoejCS05A.2 Teaching and learning about RCR at the same time: a report on Epigeum’s RCR poll questions and other assessment activitiesNicholas H. SteneckCS05A.4 Minding the gap in research ethics education: strategies to assess and improve research competencies in community health workers/promoteresCamille Nebeker, Michael Kalichman, Elizabeth Mejia Booen, Blanca Azucena Pacheco, Rebeca Espinosa Giacinto, Sheila Castaneda6. Country examples of research reward systems and integrityCS06.1 Improving systems to promote responsible research in the Chinese Academy of SciencesDing Li, Qiong Chen, Guoli Zhu, Zhonghe SunCS06.4 Exploring the perception of research integrity amongst public health researchers in IndiaParthasarathi Ganguly, Barna Ganguly7. Education and guidance on research integrity: country differencesCS07.1 From integrity to unity: how research integrity guidance differs across universities in Europe.Noémie Aubert Bonn, Kris Dierickx, Simon GodecharleCS07.2 Can education and training develop research integrity? The spirit of the UNESCO 1974 recommendation and its updatingDaniele Bourcier, Jacques Bordé, Michèle LeducCS07.3 The education and implementation mechanisms of research ethics in Taiwan's higher education: an experience in Chinese web-based curriculum development for responsible conduct of researchChien Chou, Sophia Jui-An PanCS07.4 Educating principal investigators in Swiss research institutions: present and future perspectivesLouis Xaver Tiefenauer8. Measuring and rewarding research productivityCS08.1 Altimpact: how research integrity underpins research impactDaniel Barr, Paul TaylorCS08.2 Publication incentives: just reward or misdirection of funds?Lyn Margaret HornCS08.3 Why Socrates never charged a fee: factors contributing to challenges for research integrity and publication ethicsDeborah Poff9. Plagiarism and falsification: Behaviour and detectionCS09.1 Personality traits predict attitude towards plagiarism of self and others in biomedicine: plagiarism, yes we can?Martina Mavrinac, Gordana Brumini, Mladen PetrovečkiCS09.2 Investigating the concept of and attitudes toward plagiarism for science teachers in Brazil: any challenges for research integrity and policy?Christiane Coelho Santos, Sonia VasconcelosCS09.3 What have we learnt?: The CrossCheck Service from CrossRefRachael LammeyCS09.4 High p-values as a sign of data fabrication/falsificationChris Hartgerink, Marcel van Assen, Jelte Wicherts10. Codes for research integrity and collaborationsCS10.1 Research integrity in cross-border cooperation: a Nordic exampleHanne Silje HaugeCS10.3 Research integrity, research misconduct, and the National Science Foundation's requirement for the responsible conduct of researchAaron MankaCS10.4 A code of conduct for international scientific cooperation: human rights and research integrity in scientific collaborations with international academic and industry partnersRaffael Iturrizaga11. Countries' efforts to establish mentoring and networksCS11.1 ENRIO : a network facilitating common approaches on research integrity in EuropeNicole FoegerCS11.2 Helping junior investigators develop in a resource-limited country: a mentoring program in PeruA. Roxana Lescano, Claudio Lanata, Gissella Vasquez, Leguia Mariana, Marita Silva, Mathew Kasper, Claudia Montero, Daniel Bausch, Andres G LescanoCS11.3 Netherlands Research Integrity Network: the first six monthsFenneke Blom, Lex BouterCS11.4 A South African framework for research ethics and integrity for researchers, postgraduate students, research managers and administratorsLaetus OK Lategan12. Training and education in research integrity at an early career stageCS12.1 Research integrity in curricula for medical studentsGustavo Fitas ManaiaCS12.2 Team-based learning for training in the responsible conduct of research supports ethical decision-makingWayne T. McCormack, William L. Allen, Shane Connelly, Joshua Crites, Jeffrey Engler, Victoria Freedman, Cynthia W. Garvan, Paul Haidet, Joel Hockensmith, William McElroy, Erik Sander, Rebecca Volpe, Michael F. VerderameCS12.4 Research integrity and career prospects of junior researchersSnezana Krstic13. Systems and research environments in institutionsCS13.1 Implementing systems in research institutions to improve quality and reduce riskLouise HandyCS13.2 Creating an institutional environment that supports research integrityDebra Schaller-DemersCS13.3 Ethics and Integrity Development Grants: a mechanism to foster cultures of ethics and integrityPaul Taylor, Daniel BarrCS13.4 A culture of integrity at KU LeuvenInge Lerouge, Gerard Cielen, Liliane Schoofs14. Peer review and its role in research integrityCS14.1 Peer review research across disciplines: transdomain action in the European Cooperation in Science and Technology “New Frontiers of Peer Review ”Ana Marusic, Flaminio SquazzoniCS14.2 Using blinding to reduce bias in peer reviewDavid VauxCS14.3 How to intensify the role of reviewers to promote research integrityKhalid Al-Wazzan, Ibrahim AlorainyCS14.4 Credit where credit’s due: professionalizing and rewarding the role of peer reviewerChris Graf, Verity Warne15. Research ethics and oversight for research integrity: Does it work?CS15.1 The psychology of decision-making in research ethics governance structures: a theory of bounded rationalityNolan O'Brien, Suzanne Guerin, Philip DoddCS15.2 Investigator irregularities: iniquity, ignorance or incompetence?Frank Wells, Catherine BlewettCS15.3 Academic plagiarismFredric M. Litto16. Research integrity in EuropeCS16.1 Whose responsibility is it anyway?: A comparative analysis of core concepts and practice at European research-intensive universities to identify and develop good practices in research integrityItziar De Lecuona, Erika Löfstrom, Katrien MaesCS16.2 Research integrity guidance in European research universitiesKris Dierickx, Noémie Bonn, Simon GodecharleCS16.3 Research Integrity: processes and initiatives in Science Europe member organisationsTony Peatfield, Olivier Boehme, Science Europe Working Group on Research IntegrityCS16.4 Promoting research integrity in Italy: the experience of the Research Ethics and Bioethics Advisory Committee of the Consiglio Nazionale delle Ricerche Cinzia Caporale, Daniele Fanelli17. Training programs for research integrity at different levels of experience and seniorityCS17.1 Meaningful ways to incorporate research integrity and the responsible conduct of research into undergraduate, graduate, postdoctoral and faculty training programsJohn Carfora, Eric Strauss, William LynnCS17.2 "Recognize, respond, champion": Developing a one-day interactive workshop to increase confidence in research integrity issuesDieter De Bruyn, Bracke Nele, Katrien De Gelder, Stefanie Van der BurghtCS17.4 “Train the trainer” on cultural challenges imposed by international research integrity conversations: lessons from a projectJosé Roberto Lapa e Silva, Sonia M. R. Vasconcelos18. Research and societal responsibilityCS18.1 Promoting the societal responsibility of research as an integral part of research integrityHelene IngierdCS18.2 Social responsibility as an ethical imperative for scientists: research, education and service to societyMark FrankelCS18.3 The intertwined nature of social responsibility and hope in scienceDaniel Vasgird, Stephanie BirdCS18.4 Common barriers that impede our ability to create a culture of trustworthiness in the research communityMark Yarborough19. Publication ethicsCS19.1 The authors' forum: A proposed tool to improve practices of journal editors and promote a responsible research environmentIbrahim Alorainy, Khalid Al-WazzanCS19.2 Quantifying research integrity and its impact with text analyticsHarold GarnerCS19.3 A closer look at authorship and publication ethics of multi- and interdisciplinary teamsLisa Campo-Engelstein, Zubin Master, Elise Smith, David Resnik, Bryn Williams-JonesCS19.4 Invisibility of duplicate publications in biomedicineMario Malicki, Ana Utrobicic, Ana Marusic20. The causes of bad and wasteful research: What can we do?CS20.1 From countries to individuals: unravelling the causes of bias and misconduct with multilevel meta-meta-analysisDaniele Fanelli, John PA IoannidisCS20.2 Reducing research waste by integrating systems of oversight and regulationGerben ter Riet, Tom Walley, Lex Marius BouterCS20.3 What are the determinants of selective reporting?: The example of palliative care for non-cancer conditionsJenny van der Steen, Lex BouterCS20.4 Perceptions of plagiarism, self-plagiarism and redundancy in research: preliminary results from a national survey of Brazilian PhDsSonia Vasconcelos, Martha Sorenson, Francisco Prosdocimi, Hatisaburo Masuda, Edson Watanabe, José Carlos Pinto, Marisa Palácios, José Lapa e Silva, Jacqueline Leta, Adalberto Vieyra, André Pinto, Mauricio Sant’Ana, Rosemary Shinkai21. Are there country-specific elements of misconduct?CS21.1 The battle with plagiarism in Russian science: latest developmentsBoris YudinCS21.2 Researchers between ethics and misconduct: A French survey on social representations of misconduct and ethical standards within the scientific communityEtienne Vergès, Anne-Sophie Brun-Wauthier, Géraldine VialCS21.3 Experience from different ways of dealing with research misconduct and promoting research integrity in some Nordic countriesTorkild VintherCS21.4 Are there specifics in German research misconduct and the ways to cope with it?Volker Bähr, Charité22. Research integrity teaching programmes and their challengesCS22.1 Faculty mentors and research integrityMichael Kalichman, Dena PlemmonsCS22.2 Training the next generation of scientists to use principles of research quality assurance to improve data integrity and reliabilityRebecca Lynn Davies, Katrina LaubeCS22.3 Fostering research integrity in a culturally-diverse environmentCynthia Scheopner, John GallandCS22.4 Towards a standard retraction formHervé Maisonneuve, Evelyne Decullier23. Commercial research and integrityCS23.1 The will to commercialize: matters of concern in the cultural economy of return-on-investment researchBrian NobleCS23.2 Quality in drug discovery data reporting: a mission impossible?Anja Gilis, David J. Gallacher, Tom Lavrijssen, Malwitz David, Malini Dasgupta, Hans MolsCS23.3 Instituting a research integrity policy in the context of semi-private-sector funding: an example in the field of occupational health and safetyPaul-Emile Boileau24. The interface of publication ethics and institutional policiesCS24.1 The open access ethical paradox in an open government effortTony SavardCS24.2 How journals and institutions can work together to promote responsible conductEric MahCS24.3 Improving cooperation between journals and research institutions in research integrity casesElizabeth Wager, Sabine Kleinert25. Reproducibility of research and retractionsCS25.1 Promoting transparency in publications to reduce irreproducibilityVeronique Kiermer, Andrew Hufton, Melanie ClyneCS25.2 Retraction notices issued for publications by Latin American authors: what lessons can we learn?Sonia Vasconcelos, Renan Moritz Almeida, Aldo Fontes-Pereira, Fernanda Catelani, Karina RochaCS25.3 A preliminary report of the findings from the Reproducibility Project: Cancer biologyElizabeth Iorns, William Gunn26. Research integrity and specific country initiativesCS26.1 Promoting research integrity at CNRS, FranceMichèle Leduc, Lucienne LetellierCS26.2 In pursuit of compliance: is the tail wagging the dog?Cornelia MalherbeCS26.3 Newly established research integrity policies and practices: oversight systems of Japanese research universitiesTakehito Kamata27. Responsible conduct of research and country guidelinesCS27.1 Incentives or guidelines? Promoting responsible research communication through economic incentives or ethical guidelines?Vidar EnebakkCS27.3 Responsible conduct of research: a view from CanadaLynn PenrodCS27.4 The Danish Code of Conduct for Research Integrity: a national initiative to promote research integrity in DenmarkThomas Nørgaard, Charlotte Elverdam28. Behaviour, trust and honestyCS28.1 The reasons behind non-ethical behaviour in academiaYves FassinCS28.2 The psychological profile of the dishonest scholarCynthia FekkenCS28.3 Considering the implications of Dan Ariely’s keynote speech at the 3rd World Conference on Research Integrity in MontréalJamal Adam, Melissa S. AndersonCS28.4 Two large surveys on psychologists’ views on peer review and replicationJelte WichertsBrett Buttliere29. Reporting and publication bias and how to overcome itCS29.1 Data sharing: Experience at two open-access general medical journalsTrish GrovesCS29.2 Overcoming publication bias and selective reporting: completing the published recordDaniel ShanahanCS29.3 The EQUATOR Network: promoting responsible reporting of health research studiesIveta Simera, Shona Kirtley, Eleana Villanueva, Caroline Struthers, Angela MacCarthy, Douglas Altman30. The research environment and its implications for integrityCS30.1 Ranking of scientists: the Russian experienceElena GrebenshchikovaCS30.4 From cradle to grave: research integrity, research misconduct and cultural shiftsBronwyn Greene, Ted RohrPARTNER SYMPOSIAPartner Symposium AOrganized by EQUATOR Network, Enhancing the Quality and Transparency of Health ResearchP1 Can we trust the medical research literature?: Poor reporting and its consequencesIveta SimeraP2 What can BioMed Central do to improve published research?Daniel Shanahan, Stephanie HarrimanP3 What can a "traditional" journal do to improve published research?Trish GrovesP4 Promoting good reporting practice for reliable and usable research papers: EQUATOR Network, reporting guidelines and other initiativesCaroline StruthersPartner Symposium COrganized by ENRIO, the European Network of Research Integrity OfficersP5 Transparency and independence in research integrity investigations in EuropeKrista Varantola, Helga Nolte, Ursa Opara, Torkild Vinther, Elizabeth Wager, Thomas NørgaardPartner Symposium DOrganized by IEEE, the Institute of Electrical and Electronics EngineersRe-educating our author community: IEEE's approach to bibliometric manipulation, plagiarism, and other inappropriate practicesP6 Dealing with plagiarism in the connected world: An Institute of Electrical and Electronics Engineers perspectiveJon RokneP7 Should evaluation of raises, promotion, and research proposals be tied to bibliometric indictors? What the Institute of Electrical and Electronics Engineers is doing to answer this questionGianluca SettiP8 Recommended practices to ensure conference content qualityGordon MacPhersonPartner Symposium EOrganized by the Committee on Freedom and Responsibility in the Conduct of Science of ICSU, the International Council for ScienceResearch assessment and quality in science: perspectives from international science and policy organisationsP9 Challenges for science and the problems of assessing researchEllen HazelkornP10 Research assessment and science policy developmentCarthage SmithP11 Research integrity in South Africa: the value of procedures and processes to global positioningRobert H. McLaughlinP12 Rewards, careers and integrity: perspectives of young scientists from around the worldTatiana Duque MartinsPartner Symposium FOrganized by the Online Resource Center for Ethics Education in Engineering and Science / Center for Engineering, Ethics, and Society of the National Academy of EngineeringP13 Research misconduct: conceptions and policy solutionsTetsuya Tanimoto, Nicholas Steneck, Daniele Fanelli, Ragnvald Kalleberg, Tajammul HusseinPartner Symposium HOrganized by ORI, the Office of Research Integrity; Universitas 21; and the Asia Pacific Research Integrity NetworkP14 International integrity networks: working together to ensure research integrityPing Sun, Ovid Tzeng, Krista Varantola, Susan ZimmermanPartner Symposium IOrganized by COPE, the Committee on Publication EthicsPublication without borders: Ethical challenges in a globalized worldP15 Authorship: credit and responsibility, including issues in large and interdisciplinary studiesRosemary ShinkaiPartner Symposium JOrganized by CITI, the Cooperative Institutional Training InitiativeExperiences on research integrity educational programs in Colombia, Costa Rica and PeruP16 Experiences in PeruRoxana LescanoP17 Experiences in Costa RicaElizabeth HeitmanP18 Experiences in ColumbiaMaria Andrea Rocio del Pilar Contreras NietoPoster Session B: Education, training, promotion and policyPT.01 The missing role of journal editors in promoting responsible researchIbrahim Alorainy, Khalid Al-WazzanPT.02 Honorary authorship in Taiwan: why and who should be in charge?Chien Chou, Sophia Jui-An PanPT.03 Authorship and citation manipulation in academic researchEric Fong, Al WilhitePT.04 Open peer review of research submission at medical journals: experience at BMJ Open and The BMJTrish GrovesPT.05 Exercising authorship: claiming rewards, practicing integrityDésirée Motta-RothPT.07 Medical scientists' views on publication culture: a focus group studyJoeri Tijdink, Yvo SmuldersPoster Session B: Education, training, promotion and policyPT.09 Ethical challenges in post-graduate supervisionLaetus OK LateganPT.10 The effects of viable ethics instruction on international studentsMichael Mumford, Logan Steele, Logan Watts, James Johnson, Shane Connelly, Lee WilliamsPT.11 Does language reflect the quality of research?Gerben ter Riet, Sufia Amini, Lotty Hooft, Halil KilicogluPT.12 Integrity complaints as a strategic tool in policy decision conflictsJanneke van Seters, Herman Eijsackers, Fons Voragen, Akke van der Zijpp and Frans BromPoster Session C: Ethics and integrity intersectionsPT.14 Regulations of informed consent: university-supported research processes and pitfalls in implementationBadaruddin Abbasi, Naif Nasser AlmasoudPT.15 A review of equipoise as a requirement in clinical trialsAdri LabuschagnePT.16 The Research Ethics Library: online resource for research ethics educationJohanne Severinsen, Espen EnghPT.17 Research integrity: the view from King Abdulaziz City for Science and TechnologyDaham Ismail AlaniPT. 18 Meeting global challenges in high-impact publications and research integrity: the case of the Malaysian Palm Oil BoardHJ. Kamaruzaman JusoffPT.19 University faculty perceptions of research practices and misconductAnita Gordon, Helen C. HartonPoster Session D: International perspectivesPT.21 The Commission for Scientific Integrity as a response to research fraudDieter De Bruyn, Stefanie Van der BurghtPT. 22 Are notions of the responsible conduct of research associated with compliance with requirements for research on humans in different disciplinary traditions in Brazil?Karina de Albuquerque Rocha, Sonia Maria Ramos de VasconcelosPT.23 Creating an environment that promotes research integrity: an institutional model of Malawi Liverpool Welcome TrustLimbanazo MatandikaPT.24 How do science policies in Brazil influence user-engaged ecological research?Aline Carolina de Oliveira Machado Prata, Mark William NeffPoster Session E: Perspectives on misconductPT.26 What “causes” scientific misconduct?: Testing major hypotheses by comparing corrected and retracted papersDaniele Fanelli, Rodrigo Costas, Vincent LarivièrePT.27 Perception of academic plagiarism among dentistry studentsDouglas Leonardo Gomes Filho, Diego Oliveira GuedesPT. 28 a few bad apples?: Prevalence, patterns and attitudes towards scientific misconduct among doctoral students at a German university hospitalVolker Bähr, Niklas Keller, Markus Feufel, Nikolas OffenhauserPT. 29 Analysis of retraction notices published by BioMed CentralMaria K. Kowalczuk, Elizabeth C. MoylanPT.31 "He did it" doesn't work: data security, incidents and partnersKatie SpeanburgPoster Session F: Views from the disciplinesPT.32 Robust procedures: a key to generating quality results in drug discoveryMalini Dasgupta, Mariusz Lubomirski, Tom Lavrijssen, David Malwitz, David Gallacher, Anja GillisPT.33 Health promotion: criteria for the design and the integrity of a research projectMaria Betânia de Freitas Marques, Laressa Lima Amâncio, Raphaela Dias Fernandes, Oliveira Patrocínio, and Cláudia Maria Correia Borges RechPT.34 Integrity of academic work from the perspective of students graduating in pharmacy: a brief research studyMaria Betânia de Freitas Marques, Cláudia Maria Correia Borges Rech, Adriana Nascimento SousaPT.35 Research integrity promotion in the Epidemiology and Health Services, the journal of the Brazilian Unified Health SystemLeila Posenato GarciaPT.36 When are clinical trials registered? An analysis of prospective versus retrospective registration of clinical trials published in the BioMed Central series, UKStephanie Harriman, Jigisha PatelPT.37 Maximizing welfare while promoting innovation in drug developmentFarida LadaOther posters that will be displayed but not presented orally:PT.38 Geoethics and the debate on research integrity in geosciencesGiuseppe Di Capua, Silvia PeppoloniPT.39 Introducing the Professionalism and Integrity in Research Program James M. DuBois, John Chibnall, Jillon Van der WallPT.40 Validation of the professional decision-making in research measureJames M. DuBois, John Chibnall, Jillon Van der Wall, Raymond TaitPT.41 General guidelines for research ethicsJacob HolenPT. 42 A national forum for research ethicsAdele Flakke Johannessen, Torunn EllefsenPT.43 Evaluation of integrity in coursework: an approach from the perspective of the higher education professorClaudia Rech, Adriana Sousa, Maria Betânia de Freitas MarquesPT.44 Principles of geoethics and research integrity applied to the European Multidisciplinary Seafloor and Water Column Observatory, a large-scale European environmental research infrastructureSilvia Peppoloni, Giuseppe Di Capua, Laura BeranzoliF1 Focus track on improving research systems: the role of fundersPaulo S.L. Beirão, Susan ZimmermanF2 Focus track on improving research systems: the role of countriesSabine Kleinert, Ana MarusicF3 Focus track on improving research systems: the role of institutionsMelissa S. Anderson, Lex Bouter. (shrink)

Falsafat wa-ḥayāt Abī Hāshim al-Jubbāʼī wa-madrasatuh -- al-Tawallud ʻinda al-Muʻtazilah.